_ Ketika kita membayangkan seorang petani, mungkin bayangan pertama yang muncul adalah sosok pria pekerja maupun pemilik lahan. Namun, di balik lahan yang dikelola dan hasil panen yang diangkut, ada banyak tangan perempuan yang ikut menanam, memanen, dan menjaga stabilitas ekonomi keluarga. Sayangnya, peran ini sering kali tidak terlihat secara formal—meski kontribusinya sangat nyata.
#####Menurunnya Jumlah Petani Perempuan Formal Data dari Impact Report 2024 mencatat bahwa hanya 3% dari petani mitra Elevarm adalah perempuan—turun jauh dari 11,7% pada 2023. Penurunan ini tidak serta-merta berarti bahwa perempuan menjauh dari dunia pertanian. Sebaliknya, mereka justru masih sangat aktif, namun lebih banyak berperan sebagai pekerja informal, buruh tani, atau pendukung ekonomi keluarga berbasis pertanian.
Transisi ini mencerminkan pola sosial yang lebih besar: banyak perempuan kini memilih jalur kerja yang lebih fleksibel atau berbasis rumah tangga, terutama ketika akses terhadap lahan, modal, dan posisi kepemimpinan dalam kelompok tani masih terbatas. Peran-peran ini jarang masuk ke dalam statistik formal, tapi tetap penting dalam menjaga keberlangsungan sistem pangan.
Maka dari itu, memperluas akses dan peluang bagi perempuan untuk menjadi bagian dari pertanian yang formal dan berkelanjutan sangat penting—sejalan dengan SDG 5: Gender Equality dan SDG 10: Reduced Inequalities.
Buruh Tani Perempuan: Hampir Setengah dari Total Tenaga Kerja
Meski jumlah petani perempuan formal menurun, jumlah buruh tani perempuan justru meningkat tajam. Di tahun 2024, tercatat 3.017 perempuan bekerja sebagai buruh tani dalam ekosistem Elevarm—setara dengan hampir 50% dari total tenaga kerja pertanian. Angka ini naik hampir dua kali lipat dari tahun 2022.Pertumbuhan ini tidak terjadi begitu saja. Meningkatnya produktivitas pertanian, akses modal yang lebih merata, serta ekspansi lahan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Pada tahun 2024, rata-rata jumlah pekerja per lahan meningkat dari 4 orang (2022) menjadi 11 orang. Jumlah buruh laki-laki naik dari 2 ke 6 orang, dan perempuan dari 2 ke 5 orang per lahan.
Hal ini bukan hanya tentang produktivitas, tapi juga kontribusi nyata terhadap pencapaian SDG 8: Decent Work and Economic Growth. Pekerjaan yang tercipta di sektor pertanian adalah bukti bahwa pertanian modern bisa tetap inklusif dan membuka peluang ekonomi yang layak—terutama di wilayah pedesaan.
Upah Lebih Layak untuk Perempuan
Di sektor informal, upah perempuan seringkali lebih rendah dibanding laki-laki. Namun dalam ekosistem Elevarm, tren ini mulai bergeser. Pada 2024, rata-rata upah harian buruh tani perempuan mencapai Rp46.269—melampaui standar regional (Rp30.000–Rp40.000) dan terus meningkat dibanding dua tahun sebelumnya.Sementara itu, buruh laki-laki menerima Rp62.447 per hari, juga menunjukkan pertumbuhan yang seimbang. Ini menjadi indikasi bahwa penguatan kapasitas finansial petani utama turut mendorong kesejahteraan para pekerja mereka, termasuk buruh perempuan yang sering berada dalam posisi lebih rentan.
Peningkatan upah ini tidak hanya mendukung SDG 1: No Poverty, tetapi juga menandai kemajuan menuju ketenagakerjaan yang lebih adil dan berdaya untuk perempuan.
Menuju Pertanian yang Inklusif dan Berkeadilan
Kisah ini bukan hanya soal angka, tapi tentang melihat siapa yang selama ini tidak terlihat. Perempuan telah, sedang, dan akan terus menjadi bagian penting dari ekosistem pertanian—baik sebagai petani, buruh, pengelola rumah tangga pertanian, maupun penggerak komunitas.Untuk membangun sistem pangan yang berkelanjutan dan adil, peran perempuan harus diakui, didukung, dan diperkuat secara sistemik. Elevarm sendiri terus memperluas akses terhadap:
- Peluang kerja yang setara dan layak
- Skema pembiayaan yang inklusif
- Ruang partisipasi dalam pengambilan keputusan pertanian